Artikel yang saya
posting ini saya ambil dari sebuah buku yang berjudul “Story of The Great Husband: Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam”
yang ditulis oleh Hasan bin Ahmad Hasan Hamam, yaitu pada halaman 83 – 88.
Berikut artikelnya:
Ketahuliah – semoga
Allah melindungimu – bahwasannya akhlak terpuji terhadap istri tidak semata
dengan meperlakukannya secara baik dan tidak menyakitinya. Lebih dari itu,
akhlak terpuji seorang suami meliputi kemampuannya menahan emosi ketika istri
melakukan kesalahan yang memancing kemarahannya, sebagaimana yang telah
diteladankan oleh Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wassalam. Wanita memang diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok
sehingga dirinya melakukan kesalahan. Tetapi Rasulullah juga bersabda:
“Wanita tidak akan mampu lurus selamanya. Jika kamu merelakannya meski ada kebengkokan itu, kamu akan bahagia bersamanya. Tetapi jika kamu memaksa meluruskan kebengkokannya, kamu akan membuatnya patah, yaitu perceraian.” (H.R. Muslim)
Ibnu Umar berkata:
“Rasulullah pernah mengungkapkan sindiran atas perilaku para istri yang memang seringkali tidak menyenangkan suaminya. Rasulullah bersabda ‘Wahai para wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istghfar, karena aku melihat kalian adalah orang yang paling banyak menghuni neraka.’ Salah seorang wanita bertanya ‘Wahai Rasulullah, kenapa kami banyak menjadi penghuni neraka?’ Rasulullah menjawab, ‘Kalian sering mencaci dan kufur (tidak pandai berterima kasih) terhadap pasangan. Sesungguhnya kalian adalah orang yang paling kurang akal dan agamanya.”
Kufur dalam hadis di
atas memiliki arti kufur nikmat, yaitu tidak pandai berterima kasih atas nikmat
yang diberikan oleh suaminya. Hal ini merupakan kiasan bahwasannya istri-istri
seringkali melakukan tindakan dan perilaku yang tidak menyenangkan hati
suaminya. Padahal para suami telah mempersembahkan seluruh kemampuan demi
membahagiakan sang istri. Lebih tegas, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda Seandaninya kamu telah berlaku baik
terhadap istrimu sepanjang masa, kemudian ia menemukan suatu aib dari
perlakuanmu terhadapnya, niscaya ia akan berkata ‘Aku tidak pernah mendapatkan
kebaikan apapun darimu.’ Begitulah watak dasar perempuan yang kembali kepada
asal penciptaannya sebagimana telah disinggung dalam hadis di atas.
Oleh karena itu,
seorang suami harus arif, bertindak rasional dan penuh pengertian saat
menghadapi perilaku istrinya. Imam Bukhari membahas masalah ini dalam kitab
Shahihnya dengan membuat bab khusus, yaitu Bab Madaratul Mar’ah (Pengertian
terhadap Istri).
Ini mengisyaratkan
betapa pentingnya sikap pengertian dalam membina hubungan suami-istri. Suami
yang tidak memiliki kearifan terhadap istrinya tentu akan bersikap keras kepala
dan egois. Suami seperti ini tidak mampu menerima koreksi, dialog apalagi
kritik dari sang istri. Ia berat untuk
memberi maaf atas kesalahan yang dilakukan oleh istrinya. Suami seperti ini
merupakan sosok yang bodoh dan tidak memiliki kecerdikan. Bila hal ini menimpa
sebuah rumah tangga, tentu kehidupan di dalamnya akan jauh dari bahagia dan
kedamaian.
Diceritakan bahwa suatu
hari ada seorang lelaki datang ke rumah Umar bin Khaththab. Setelah diizinkan
masuk, dia melihat keadaan sekeliling rumah. Lalu dia minta izin untuk pergi
melanjutkan perjalanannya, namun dia kembali lagi. Umar pun heran lalu ia
mengutus pembantunya dan meminta agar dia dating ke hadapannya. Setelah itu
Umar bertanya kepada laki-laki itu “Untuk apa kamu dating kemari? Kenapa kamu
kembali lagi kemari padahal kamu telah diizinkan pergi?” Lelaki itu menjawab
“Wahai Amirul Mukminin, tadinya aku bermaksud mengadu kepadamu tentang
perlakuan istriku terhadapku. Tetapi setelah aku mendengar suara istrimu yang
keras sedang kamu tidak memarahinya, maka aku mengurungkan niatku itu. Dan
dalam hati aku berkata “JIka seorang Amirul Mukminin saja mampu menahan amarah
menghadapi perilaku istrinya, maka tentu aku harus bisa lebih sabar menghadapi
perilaku istriku”. Kemudian Umar menjawab “Bagaimana aku tidak sabar terhadap
istriku, sedangkan ia yang memelihara anak-anakku, mempersiapkan kebutuhanku
dan mencuci pakaianku?” Mendengar komentar Umar tersebut, lelaki itu menyadari
kebaikan-kebaikan yang telah diberikan istrinya kepada dirinya.
Dialah Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam, sosok yang
telah lebih dahulu menyematkan sikap sabar tersebut dan menjadi panutan bagi
umatnya. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda kepada Aisyah, “Sesungguhnya
aku dapat membedakan antara sikap kamu yang sedang marah kepadaku dan yang
sedang suka kepadaku.” Aisyah bertanya, “Bagaimana engkau tahu itu?” Rasulullah
menjawab, “Apabila kamu sedang tidak marah, kamu akan mengatakan, ‘Tidak, semi
Tuhan Muhammad’ dan jika kamu sedang marah, kamu akan mengatakan, ‘Tidak, demi
Tuhan Ibrahim’.” Aisyah pun membenarkan dan berkata, “Sesungguhnya aku hanya
meninggalkan namamu saja.” (Muttafaq ‘alaih).
Diceritakan pula
bahwasannya istri-istri Rasulullah pernah membantah ucapan beliau. Bahkan,
salah seorang diantara mereka pernah membisu sepanjang hari sebagai bentuk
protes terhadap Rasulullah. (H.R. Bukhari-Muslim).
Ketika istri Umar
membantah perkataannya, ‘Umar pun berkata kepada istrinya, “Apakah kamu
membantah perkataannku, wahai alangkah tidak sopannya kamu.” Saat itu istrinya
berkilah, “Sesungguhnya istri-istri Rasulullah pun berani membantah perkataan
beliau, padahal beliau adalah sosok yang lebih mulia daripada kamu.” Mendengar
itu, Umar khawatir jika putrinya, Hafshah yang dipersunting Rasulullah termasuk
perempuan yang berani membantah Rasulullah. Lalu Umar segera menemui Hafshah
dan menasihatinya agar tidak membantah perkataan suaminya.
Ketika sedang marah,
Aisyah pernah melontarkan ucapan kasar kepada Rasulullah. Dia berkata, “Engkau
orang yang mengaku-ngaku sebagai Nabi!” Akan tetapi Rasulullah tetap menyikapinya
dengan penuh kasih sayang dan penghargaan. Rasulullah hanya tersenyum dan tidak
sedikit pun terlihat marah.
Suatu kali pernah
terjadi perselisihan antara Rasul dan Aisyah hingga mereka melaporkan kepada
Abu Bakar dan memintanya menjadi mediator. Kemudian Rasulullah berkata, “Hai,
Aisyah, apakah kamu atau aku yang akan berbicara?” Aisyah menjawab, “Biar kamu
yang bicara, tetapi jangan katakana kecuali kebenaran.” Melihat kelancangan
Aisyah, Abu Bakar memukul mulut Aisyah hingga berdarah.
Abu Bakar menghardik
Aisyah, “Wahai perempuan yang memusuhi dirinya sendiri, adakah Rasulullah
pernah berbicara tidak jujur.” Melihat ayahnya marah, Aisyah segera berlindung
di belakang Rasulullah. Kemudian Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wassalam berkata, “Kami tidak mengundangmu untuk berlaku kasar
seperti itu, dan kami pun tidak menginginkan perbuatan itu darimu.” (H.R.
Thabrani).
Demikian perilaku sabar
dan kasih sayang seorang manusia terbaik, penghulu manusia. Senyum sebagai
simbol kasih sayang dan kelembutan senantiasa menghiasi bibir Rasulullah yang
mulia. Maka semestinya para suami meneladani sikap indah ini dalam mempergauli
istrinya. Rajutlah jalinan rumah tangga dengan benang kasih sayang dan
kelembutan. Sehingga biduk rumah tangga dapat didayung dengan tenang, penuh
ketenteraman, dan berlabuh di pantai kebahagiaan.
Sumber:
Hasan bin Ahmad Hasan
Hamam. 2008. Story of The Great Husband:
Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam. Jakarta: Nakhlah Pustaka.
Alhamdulillahirobbil Alamiin. Terimakasih atas ilmu pengetahuan yg di masukan ke dunia digital. Karna tidak semua orang mengetahui tentang rosululloh menghadapi istrinya bila istrinya sedang marah. Semoga bermanfaat bagi sese'orang yg membaca.Amiin Allohummah Amiin.
ReplyDeleteRasulullah.. qudwah hasanah
ReplyDeleteAdakah pahala utk suani yg ditolak dlm berhubungan intim oleh sang istri..?? Biar ane ga marah dgn sang istri ane hnya berharap pahala dr Allah aja..??
ReplyDeleteterima kasih share nya, menambah inspirasi untuk kesabaran
ReplyDeletehaha
ReplyDelete